Rabu, 19 Desember 2012

Up All Night - ONE DIRECTION

It feels like we veen living in fast-forward
Another moment passing by
The party's ending but its now or never
Nobody's going home tonight

Katy Perry's on replay
She's on replay
DJ got the floor to shake,
the floor to shake
People going all the way, 
yeah all the way
Im still wide awake

Chorus:
I wanna stay up all night and jump arround until we see the sun
I wanna stay up all night and find a girl and tell her she's the one
Hold on to the feeling
And dont let  it go
Cause we got the floor now
Get out of control
I wanna stay up all night and do it all with you

Up all night
Like this, all night, (hey)
Up all night like this, all night, (hey)
Up all night!

Dont even care about the table breaking
We only wanna have a laugh
(up-up-up all night)
Im only thinking 'bout this girl im seeing
I hope you wanna kiss me back
(up-up-up all night) 

Katy Perry's on replay
She's on replay
DJ got the floor to shake,
the floor to shake
People going all the way, 
yeah all the way
Im still wide awake

(CHORUS) 

Up all night
Like this, all night, (hey)
Up all night like this, all night, (hey)
Up all night!

Katy Perry's on replay,
She's on replay,
(We're gonna wanna say up all night)
DJ got the floor to shake,
The floor to shake,
(Up all night, up all night, we're gonna wanna say up all night)
(Up all night, up all night, we're gonna wanna say up all night)

(CHORUS)


One Direction - Last First Kiss ( Lyrics + Pictures )

One Direction - More Than This ( Lyrics + Pictures )

Broken Family [5]

'Ibu..bertahanlah, bu!', ucapku dalam hati. Entah apa yang mesti kuperbuat. Jika membela ibu, aku akan mendapat memar baru. Tapi, hanya melihat dari kejauhan juga bukanlah hal yang baik.

Beberapa menit aku berpikir. Dan kutemukan jawaban yang benar. Ya, aku akan ke sana dan melawan makhluk jahat itu. Aku tak tahu mengapa ada orang berkepribadian sama dengan ayah. Apa sih, yang mereka mau? Kurasa menyiksa orang bukanlah hal yang menyenangkan atau menarik untuk dilakukan. 

"Apa-apaan, kau!? Saat aku tertidur pulas, kau berani menyiksa ibuku? Dasar rendah!", bentakku. Tanpa basa-basi, kerah piyamaku diangkat ke atas dan aku dilemparkan ke rak buku. Kau tahu, rak buku itu terbuat dari kayu jati yang sangat kuat. Walau hanya terpeleset menabrak kayu jati itu, bisa saja mati. Dan aku? Aku dilempar ke rak buku itu. Sakit sekali. Ternyata dugaanku benar. Pasti menambah satu memar lagi.

Pergelangan tangan kananku patah. Entah apa yang bisa kuperbuat untuk menyelamatkan ibu. Tapi, demi ibu..masa bodoh aku harus mati!

Dari belakang sudut yang tak bisa ia lihat, aku mengambil kursi dan kulemparkannya ke punggung Mr.Daniel. Tak puas hanya satu kali, aku terus melemparkan kursi, vas kayu, dan berbagai barang lainnya. Aku geram melihat makhluk sepertinya. Menjijikkan, rendah, egois, dan pecundang! Aku tak akan pernah puas melemparinya dengan berbagai barang. Aku ingin membunuhnya! Aku ingin menyetrumnya dengan kabel, dan membutakan matanya dengan bubuk lada yang ingin kutebarkan. Tiada ampun..tiada ampun bagi makhluk seperti ini.

"Apa yang kau lakukan, bocah bodoh!?", bentaknya padaku. Dia sama sekali tak melemah. Aku tak tahu barang apa lagi yang bisa kulemparkan padanya. Pada makhluk biaIdab yang hanya bisa menyiksa orang dengan wajah tersenyum. 

"Jangan sebut aku bodoh! Ucapan itulah yang harus kau katakan pada dirimu sendiri. Pada dirimu yang kotor oleh sifat iblis di dalamnya.", jawabku dengan lantang. Aku tak akan gentar sampai ibu selamat. Seseorang, tolonglah datang..

Ibu hanya bisa tercengang melihat sikapku yang berani. Ibu hanya tahu aku dengan sikap penurut seperti robot tanpa banyak omong. Tapi aku bukan robot, bu. Aku masih bisa memilih yang mana yang benar, yang mana yang mesti kubela. Dan mana yang pantas dan mesti kubunuh!

Mr.Daniel tiba-tiba berjalan ke arah kotak perkakas raksasa. Dia mengambil sebatang kapak dan sebilah pisau untuk membereskan kami. Membereskan aku dan ibu yang tak bersalah.

"Kau tak perlu melawanku, Serra. Sebab kau akan mati sekarang..", katanya sambil tersenyum menyeringai.

"Hahaha! Kau tahu, aku sudah terbiasa dengan alat semacam itu. Tak adakah yang lebih tajam? Haha!", jawabku dengan lantang. Selagi ia sibuk meladeniku, aku memberi isyarat pada ibu untuk menyerangnya dari belakang dengan pisau yang ada di sebelahnya. 

"Jangan meremehkanku, anak kecil..", jawabnya yang terlihat emosi. Emosinya terpancing. Aku tak peduli lagi dengan nyawa dan misiku untuk merubah ayah. Sekarang ini, aku hanya berniat membunuh makhluk iblis ini. 

"Siapa yang meremehkanmu? Aku bukan meremehkan. Memang kau tak pantas untuk dilawan. Badanmu tidak tangguh. Tidak gagah, tidak terlihat perkasa. Hanya tumpukan lemak di perutmu.  Lemak itu akan memudahkanku untuk melawanmu. Lagi pula, aku heran dengan tubuhmu itu. Tubuhmu terlalu kurus seperti wanita, dan tidak gagah selayaknya lelaki. Aku jadi mempertimbangkan. Sebenarnya, kau pria atau wanita? Dan aku heran, kenapa ibuku mau menikahi lelaki berpostur tubuh jelek begini? Kalau aku jadi ibu, aku akan lebih memilih single selalu dari pada menikahi lelaki macam kau yang sifatnya sangat memalukan. Sangat menjatuhkan imageku.", celotehku untuk membuat perhatiannya teralihkan hanya padaku.  

Ibu sedang berusaha meraih pisau yang ada di sampingnya. Tangan ibu keseleo dan tak bisa di gerakkan. Begitu juga aku. Tanganku sudah memar sampai membiru.

"JANGAN MENCELAKU, BO..", belum sempat Mr. Daniel mengucapkan kalimatnya, ibu berhasil menusuk punggung Mr.Daniel. Dia melemah dan tak sadarkan diri. Aku memeluk ibu dan mengatakan,

"Kenapa ibu tak bilang padaku kalau ibu juga disiksa di sini? Kenapa bu..?", tanyaku pada ibu sembari memeluknya erat.

"Ibu tak mau menyusahkanmu dan ayahmu, Serra. 'juga'? Maksudmu, kamu pun disiksa!?", jawab ibu sambil terkejut. Penyiksaan ayah tak pernah kuberitahu ke siapapun kecuali keluarga Shiona dan Andie.

"Ayah terpuruk setelah ibu menceraikan ayah dengan alasan tak jelas. Ayah melampiaskan kekesalannya ke kakak. Dan kakak stress akibat perlakuan ayah tersebut. Lalu kakak yang tak kuat akan siksaan ayah, ia pun melampiaskannya padaku. Tak jarang ayah menampar dan menendangku. Tapi, aku tak pernah melawan dengan alasan, ayah dan kakak pasti bahagia jika aku terus disiksanya.", ucapku panjang lebar. Kujelaskan semua yang terjadi di rumah selagi ibu bersama Mr. Daniel.

"Maafkan ibu, Serra..", ucapnya sambil menangis tersedu-sedu. Aku hanya menangguk dan memeluknya erat. 

Tiba-tiba terdengar bunyi mobil polisi. Aku tak tahu siapa yang menelepon polisi untuk datang kemari. Tapi, siapapun yang memanggil polisi, aku sangat berterima kasih.

Mobil polisi berdatangan dan menyerbu rumah ibu dengan pistol di genggaman tangannya.
Kami diselamatkan dan di bawa ke rumah sakit terdekat dengan ambulans. Mendengar berita ini, ayah dan kakak langsung ke rumah sakit untuk menjengukku. Aku tak percaya ayah dan kakak datang dengan air mata berlinang. Mereka langsung memelukku dan mengucapkan,

"Maafkan ayah, Serra. Entah makhluk apa yang telah merasuki jiwaku. Ayah sungguh minta maaf atas kesalahan ayah padamu. Memar di tanganmu ini..semuanya karena ayah kan? Ayah memang tak pantas menjadi orang tuamu.", 

"Aku juga minta maaf, Serra. Memar di sekujur tubuhmu, kuyakin akan hilang dalam waktu dekat ini. Pasti akan hilang oleh kebaikan hati dan kesabaranmu menghadapi kami semua.", kata kak Jessy, kakakku.

"Ibu juga minta maaf, Serra. Ibulah yang menyebabkan keluarga yang kau cintai rusak.", ucap ibu sambil mengecup dahiku.

"Kalian tidak salah, kok.  Kalian tahu, aku mengorbankan nyawaku hanya untuk mengembalikan dan menyatukan kalian kembali. Memang benar, hanya untuk keluarga yang kucinta. Selama ini, yang kuharapkan hanyalah membuat ayah, kakak, dan ibu kembali kepelukkanku. Kalian sangat berharga bagiku. Aku rela mengorbankan nyawaku. Hanya untuk kalian. Keluarga yang kucintai..", kataku sambil memeluk ayah, ibu, dan kakak erat.

"Kau tahu, permohonanmu telah terkabul. Sekarang aku, dan ayah telah kembali seperti sedia kala. Berkat perjuanganmu untuk keluarga ini. Terima kasih, Serra.", kata kakak sambil menangis.

"Siapa bilang telah terkabul? Aku masih berharap ayah dan ibu rujuk kembali.", kataku sambil menatap ayah dan ibu.

"Ka-kalau Natasha mau, aku akan rujuk kembali.", jawab ayah dengan tersipu-sipu.
"A-aku mau kok. Demi anakku yang telah memperjuangkan keluarga ini.", kata ibu sambil memeluk ayah. Aku dan kakak yang melihatnya hanya tercengang melihat ibu yang tiba-tiba memeluk ayah.

Beberapa jam kemudian, Navy, Mrs. Rosse, dan Andie datang menjengukku. Rupanya, merekalah yang memanggil polisi saat melihat Mr.Daniel melemparku ke rak buku. Mereka tak bisa masuk secara gegabah dan karena pintunya pun dikunci. Aku sangat berterima kasih pada mereka. 

Saat sedang berbincang-bincang, tiba-tiba dari pintu kamarku, terlihat sosok Mr.Daniel dengan luka babak belur sambil mengucapkan,

"Kalian tak akan bersenang-senang selagi Serra masih hidup. Akan kubalaskan dendamku pada Serra..", katanya sambil tertawa menyeringai. Ini suasana yang sangat horror.

"Ka-kau masih hidup!?", seruku sangat terkejut dengan kedatangannya.

Tuhan, setelah permohonanku terkabul, dan keluargaku kembali lagi..kau berikan lagi aku ujian? Kupikir aku bisa hidup tenang setelah menghabisi Mr.Daniel. Tak kusangka dia dendam padaku.

Apa aku harus diserang lagi oleh makhluk ini? Apa aku harus merasakan lagi pedihnya disiksa? Tuhan, terima kasih telah mengabulkan permohonanku yang pertama. Namun kumohon, buatlah hidupku nyaman. Walau kutahu, hidup tak pernah mulus. Tapi, tak cukupkah siksaan yang kuterima selama ini?

[will be continue~]

Selasa, 18 Desember 2012

Broken Family [4]

Kupikir ini hari yang menyenangkan karena aku bisa bertemu dengan Andie dan bersenang-senang bersama Navy. Tapi semua kebahagiaan itu, lenyap begitu saja saat aku bertemu sesosok orang yang tak pernah kuimpikan untuk datang ke hadapanku. Ayah muncul seolah selalu tahu di manapun aku berada. 

"Serra! Pulang!", seru ayah padaku. Aku tak gentar sama sekali. Aku masih ingin berada di tengah-tengah Andie dan Navy. Tak pernah kuinginkan untuk kembali disiksa dan dianggap sampah oleh keluargaku sendiri.

"Jangan memerintahku! Urus saja perusahaan, dan rasa sakit ayah yang berlebihan! Tak usah pedulikan aku. Untuk apa aku pulang hanya untuk kau siksa? Untuk apa aku pulang hanya untuk dijadikan tempat pelampiasan rasa sakitmu pada ibu? Sikapmu sungguh rendah, ayah!", seruku sambil mencela ayah. Ini suasana yang tepat untuk mengungkapkan apa yang telah kupendam selama ini. Rasa sakit yang kupendam, kuharapkan bisa keluar saat ini juga.

"Kau...berani sekali!", bentak ayah sambil menamparku. Pipiku merah. Tamparan ayah sangat keras dan membuat pipiku memar. 

Lalu, dengan spontan, Andie dan Navy melindungiku. Navy memelukku agar aku tenang. Dan Andie berkata pada ayah,

"Aku tak tahu alasannya. Aku tak tahu mengapa anda menyiksa Serra seperti yang dikatakannya. Aku sama sekali tak mengerti apa alasanmu berniat membunuh anakmu sendiri! Sikapmu itu sungguh rendah. Aku tak tahu permasalahannya. Yang kutahu hanyalah, rasa sakit Serra pada kekerasan yang kau lakukan. Sikapmu itu terlihat seperti pecundang!", seru Andie. Ayah kaget mendengar ucapan Andie yang sungguh berani dan bijak. 

Kami lalu berlari pulang ke rumah Navy. Memarku diobati. Saat diobati, rasanya seperti menyiram luka bakar dengan air garam. Perih sekali. Namun rasa perihku, tak sesakit dengan rasa kecewaku pada sikap ayah. Selama diobati, aku menangis terus-menerus. Bukan karena perih. Karena aku..aku sangat mencintai keluargaku. Dan ayah sendirilah yang membunuh keluarganya sendiri. Itulah yang kutangisi. Hanya itu.

Kekerasan yang ayah lakukan memang sudah kelewat batas. Tapi, sebagai anak, aku tak bisa melaporkan ayah ke polisi. Aku masih menghargai ayah sebagai orang yang sangat berjasa. Jasa orang tua tak akan bisa dibalas oleh apapun selain dengan pengorbananku. Setelah insiden ini, aku seperti orang gila. Aku sering melamun saat istirahat dan menangis di kamar mandi setelah pulang sekolah.

Sepanjang perjalanan, aku hanya diam sambil menatap jalanan yang sepi. Navy dan Andie yang selalu pulang bersamaku pun, hanya bisa terdiam melihat sikapku. Mereka pikir, itu wajar untuk seorang anak yang syok oleh perlakuan ayahnya. Perlahan aku berpikir..mungkin aku akan keluar dari rumah Navy dan pergi ke tempat yang lebih baik. 

"Seharusnya kau laporkan ke polisi. Itu sudah tindak kriminal, Serra!", seru ibu saat melihat perubahan sikapku.

"Itu sama saja aku membunuh ayahku dengan cara membusukkannya di penjara.", jawabku dengan ekspresi datar.

"Bagus, kan? Kau tak mau ketemu ayahmu kan?", kata ibu sambil mengusap rambutku. Aku menepis tangannya dan berkata,

"Bagaimana bisa ibu berkata demikian!? Ayah tetaplah ayah yang telah merawatku! Jika ayah mati karena kulaporkan ke polisi, aku tak akan pernah tenang! Aku akan selalu merasa bahwa aku telah membunuh! Jangan sepelekan itu, bu!", bentakku sambil berlari ke kamarku. Kukunci pintu dan aku menangis sepuasnya. Sudah berbulan-bulan aku terus menangis tiap hari. Air mataku telah kering rasanya.

=oOo=

"Bu, aku ke pasar dulu, ya. Mau beli jagung, sayur, mie yamin, ayam, ketan, dan koran.", kataku pada ibu saat masih pagi jam 6.35 AM.

"Baiklah. Hati-hati, ya. Beliin ibu shiomay ya.", jawab ibu padaku. Aku hanya mengangguk dan berlalu. 

Saat di pasar, sungguh aku kaget. Aku bertemu seorang wanita. Wajahnya mirip sekali dengan ibu. Saat melihatnya, aku langsung pulang ke rumah menghindari wanita itu. Saat sampai, ibu bertanya kenapa aku tergesa-gesa seperti itu.

"Aku bertemu ibu.", jawabku.

"Lalu?", tanya ibu lagi.

"Ibu masih terlihat seperti dulu. Berbulan-bulan aku berpikir. Dan kutemukan titik cerahnya. Aku tak mau merepotkan keluarga ini terus. Aku akan pindah.", jawabku.

"Ke mana!?", tanya ibu kaget mendengar ucapanku yang terlalu tiba-tiba.

"Ke rumah ibu. Aku tahu alamatnya. Dia sekarang ada di Mongalnia Estate. Perumahan dekat sini.", jawabku dengan air mata tertahan. Aku tak mau air mataku menetes lagi. Aku tak mau.

"Kau yakin?"

"Keputusanku sudah bulat, bu. Aku harus pindah. Kumohon jangan beritahukan ke siapapun. Besok aku akan berangkat jam 4.30 AM. Saat kalian masih tertidur. Agar tak ada yang menangisi kepergianku."

Keputusanku tak akan bisa diganggu gugat lagi. Tekadku sudah bulat. Dan kupastikan, ibu akan menyambutku.

=oOo=

4.33 AM. 
Aku akan keluar dari rumah ini. Aku tinggalkan sepucuk surat yang berisi; 

Dear, Shiona Family.
Navy, terima kasih telah mengizinkanku tinggal di rumahmu. Kuharap kau tak keberatan jika aku pindah ke tempat lain. Sungguh, bukan karena aku merasa tak nyaman. Memang aku tak nyaman. Tak nyaman karena terus membebani keluargamu. Navy Shiona, kau begitu baik dan rendah hati padaku. Aku tak pernah menyalahkanmu sebagai alasan aku pergi dari rumahku. Pergi dari rumahku, memang sudah impianku sejak dulu. Jadi, jangan pernah kau merasa bersalah, ya.

Mrs. Rosse Shiona. Ibu, makasih telah menampungku di sini tanpa rasa pamrih. Aku bukan anak yang baik karena telah merepotkan keluargamu. Semua yang kulakukan di sini..adakah yang berguna bagimu? Sudahkah aku membalas jasamu? Belum. Namun, jasamu akan kubalas suatu saat nanti. Kuharap kau mau menungguku sampai aku bisa membuat ayah jera dan berubah seperti sedia kala.

Keluarga Shiona, kalian tak akan kulupakan. Sekalipun harus mati, aku akan membayar jasa kalian. Jangan khawatirkan aku. Aku akan baik saja jika kalian terus mendukungku dan menemaniku. Sekali lagi, terima kasih banyak. Aku sayang kalian.

Serra Shie.

Hanya surat itu yang bisa kuberikan pada keluarga Shiona ini.

=oOo=

Saat sampai, ibu kaget akan kehadiranku yang sangat tiba-tiba. Namun, ia senang dengan kehadiranku. Suaminya yang sekarang ini terlihat tampan dan baik. Aku bersenang-senang bersama mereka siang ini.

Saat malam tiba, mereka menyuruhku tidur dan menyelimutiku dengan selimut tebal yang hangat. Dengan cepat, aku pun tertidur pulas dengan mimpi yang indah. Namun, semua mimpiku terpecah saat kudengar orang membentak dan memecahkan barang. Tak kusangka. Mr. Daniel, suami ibu yang baru, ternyata makhluk dengan kepribadian yang sama seperti ayah.

Kupikir ibu bahagia di sini bersama suaminya. Tapi, yang kulihat sangat berbeda. Ibu tersiksa dengan sikap suaminya. 

Jadi, selama ini...ibu pun mengalami hal yang sama denganku? 
Ibu, tolong jelaskan. benarkah apa yang kulihat ini? 

[will be continue!]

One Direction - funny moments~~

One Direction Funny Moments!

Niall Horan & Liam Payne Twitcam "I'm sexy and a know it"

HAAHAHA! Liam and Niall's twitcam! LOVE YOU BOYSS

Broken Family [3]

"Huh!? Jangan bodoh, kau! Aku tak sudi membayarmu hanya untuk kembali ke rumah menggelikan ini! Tidak akan, sekalipun kau mencium kakiku!!", jawabku dengan emosi yang tak bisa l

"Siapa juga yang mau mencium kakimu!?", bentaknya padaku. Perdebatan ini, membuat rasa sayang dan cintaku pada keluarga ini berkurang. Jika mereka tidak mempedulikanku, maka aku takkan mempedulikan mereka! Takkan kubiarkan nyawaku habis ditelan ayah!

"Kenapa..sejak ayah diceraikan ibu, ayah jadi seperti monster yang kehausan darah. Dan kakak seperti pembunuh berdarah dingin. Sedangkan aku? Aku hanya korban perebutan nyawa dari monster dan pembunuh. Kalian..kalian pembunuh! Jangan perlakukan aku layaknya boneka mati yang tak berharga! Aku juga ingin hidup seperti anak-anak lain. Tak mengerti kah kau, kak? Aku tak dendam pada kalian. Karena kutahu, suatu saat nanti kalian pasti berubah. Meski harus menunggu selama berabad-abad, aku akan menunggu perubahan sikap kalian. Walaupun harus mati. Karena aku cinta..aku cinta keluarga ini.", kataku panjang lebar sembari menarik tangan Navy keluar. Aku pun akan keluar dari rumah ini. Rumah menyedihkan tempatku disiksa. 

Kami memutuskan untuk kembali ke rumah Navy sementara waktu. Kata Navy, aku bisa tinggal di rumahnya jika aku nyaman.

Setelah bernegoisasi dengan ibunya Navy, akhirnya aku boleh tinggal di sini. Ibunya ramah dan cantik sekali. Rumah yang sederhana tak membuat keluarga ini rusak. Mereka hidup bersama dan bahagia di rumah sederhana ini. Itulah yang kuinginkan. Tak perlu rumah besar dengan fasilitas lengkap, aku hanya ingin dihargai di rumahku sendiri. Aku hanya ingin diperlakukan selayaknya manusia. Bukan boneka yang tidak apa-apa biarpun ditusuk berkali-kali. Tapi, aku bukan boneka. Aku manusia. Yang masih memerlukan cinta dari keluarganya. Aku bukan anak kecil yang merepotkan keluarganya. Aku tak mau dianggap demikian.

Ayahnya Navy sudah meninggal saat kecelakaan pesawat dua tahun yang lalu. Saat ibunya menceritakan itu, Navy meneteskan air matanya terus menerus. Aku pun memeluknya agar tangisannya mereda. Ayahnya sangat baik dan ramah. Tak keras seperti ayah. Tak kejam seperti ayah.


=oOo=

"Heeei! Bangun kalian! Jam berapa ini? Sekolah!", seru ibunya Navy. Ibunya Navy? Sudahlah. Sebut saja ibu.

"Sekolah? Aku kan tidak akan sekolah jika ayah tak membayar sekolahku.", jawabku kebingungan.

"Sekarang kau tetap sekolah. Aku yang membiayaimu!", kata Ibu dengan lantang.

"Apa? aku..dibiayai olehmu?", tanyaku.

"Tidak sopan! panggil aku ibu. cepat pergi ke kamar mandi. Dan bersiap-siaplah!", katanya sambil menepuk-nepuk pantatku.

Keluarga ini sangat bahagia. walaupun tidak komplit karena ayahnya meninggal, tetap saja hidup bahagia dengan cinta keluarga. Navy pasti sedang. Ayah terlalu terpuruk dengan perceraian itu. sesekali ingin kubentak agar tidak terlalu terpuruk dengan hal seperti itu. Tapi, tentu kalian tahu. Jika aku membentaknya, sama saja aku minta dibunuh olehnya. Dan jika aku dibunuhnya, mungkin sudah dari tahun lalu aku binasa.

Di rumah ini tidak ada kata 'menyiksa'. Di sini hanya ada keharmonisan yang membuat mereka bahagia sekalipun tak ada kepala keluarga di sampingnya. Padahal, kepala keluarga sangat penting untuk membiayai keluarga. namun, mereka tetap kuat dengan cara membuat usaha kecil-kecilan. Ibunya pandai menjahit. Sekarang baru pemula. Tapi kuyakin, dengan keharmonisan dan cinta keluarga, ibunya pasti akan menjadi designer terkenal.

Ayah beda sekali dengan ibunya Navy. Ayah jadi sering mabuk-mabukkan. Sekarang, Ayah termasuk salah satu orang yang berkepribadian buruk yang pernah kulihat.

Sikap kakak..aku masih bisa memakluminya. Beribu-ribu kali dia menganiayaku, aku diam. Aku tahan agar kakak tetap bahagia. Sekarang ini, kebahagiaanku tak penting lagi. Kebahagiaan keluargakulah yang sedang kuperjuangkan.  Tak perlu Ayah memaksaku untuk rajin belajar. Aku akan tetap belajar agar ayah bangga. Mungkin dengan begitu, sifat ayah yang buruk akan musnah seiring berjalannya waktu.

Namun, prestasiku, keberhasilanku, kerja kerasku, dan pengorbananku hanyalah sampah di matanya! Aku dianggap sampah olehnya! Aku tak pernah dianggap ada. Meninggalkanku ke luar kota karena dianggap memalukan. Aku sakit, Ayah! jangan perlakukan aku seperti itu! Sering kali aku ingin membunuh Ayah. sering kali aku ingin membunuh ibu yang semena-mena dan kakak yang egois. Tapi, apa daya? mereka keluargaku. aku sudah terlanjur cinta pada keluargaku sendiri. Mustahil bagiku untuk membunuh mereka. Sangat mustahil.


=oOo=

Selesai mandi, aku berkemas-kemas barang untuk sekolah. Di sekolah yang baru, ta.ak ada seragam. Semuanya pakai baju bebas.

Yak! Aku siap dengan celana jeans dan T-shirt warna ungu. Sangat simpel dan sederhana.

"Ckck. Apa-apaan pakaianmu ini?", tanya Ibu padaku.

"Je-jelek ya?", jawabku gugup. Aku memang sangat tidak modis karena tak pernah diperlihatkan baju-baju lucu jaman sekarang.

"Wajahmu cantik sekali. Sini kuperbaiki.".

Dan, jadilah aku. Dengan rok jeans dan T-shirt hijau serta jaket jeans yang lucu. Aku memakai sepatu boots berwarna biru dengan bandana warna hijau. Ibu benar benar modis!!

Aku akan sekolah di Undertaker Child School. Sekolah macam apa itu pun, aku tak tahu. Jalani saja. Dan sekarang, akan kucoba untuk tidak mengalah. Aku akan membela diriku.


=oOo=

Teng~ ohyeah Teng~ ohyeah Teng~ Teng~
Bel masuk sekolah berdenting. Semua murid dengan serempak menyerbu kelas masing-masing dan duduk rapi di tempat duduknya. Aku masuk kelas 6A. Karena aku lulus ujian penentuan kelas dengan nilai tinggi.

"Murid-murid! perkenalkan. Ada murid baru. Silahkan nak, perkenalkan dirimu.", seru Ms. Luna. Wali kelas 6A.

"Baik. Nama saya Serra Shie. Pindahan dari Ririchiyo School. Sekian.", kataku dengan sangat singkat. Kupikir hanya begitu pun sudah cukup.

"Hm? Ya, baiklah. Kamu bisa duduk di sebelah Andie. Ketua kelas di kelas ini.".

"Baik, Ms. Luna.", jawabku sambil berjalan ke arah Andie, si ketua kelas.

Andie langsung menyapaku dengan ramah. Senyumnya yang tersungging di wajahnya sangat manis. Aku suka melihatnya. Memang benar-benar ketua kelas. Dia cerdas, ramah, dan friendly. Dengan cepat aku langsung bersahabat dengannya. Pulang sekolah, kuperkenalkan Andie ke Navy. Menurut Navy pun, Andie memang ramah dan mudah berteman. 

"Kau punya kucing? Namanya siapa?", tanya Andie padaku.

"Sudah meninggal. Namanya Roro. Dia lucu dan penurut. Aku sangat suka dengan Roro. Sayang, dia telah tiada.", jawabku sambil meneteskan air mata. Roro memang kucing kesayanganku.

"Ma-maaf. Aku tak tahu kalau pertanyaanku akan membuatmu menangis.", kata Andie.

"Tidak apa..", jawabku singkat.

"Kalau boleh tahu, dia mati karena apa?", tanyanya.

Tiba-tiba, ada sesosok bapak-bapak berpenampilan formal dengan mobil Porche. Saat kulihat wajahnya...

"Ayah!? Ke-kenapa ayah..di sini!?", Aku terkejut bukan main. Aku akan dibunuhnya.
"Dialah..yang membunuh Roro!!", jeritku sambil menunjuk Ayah.

"Kau sedang apa, Serra!? Pulang, dan kembalilah ke rumah!", bentak ayah padaku. Aku sudah berjanji pada diriku. Aku akan membela diriku!

"Tidak mau! Jangan perlakukan aku seperti boneka, Ayah! aku bukan bonekamu! Selama ini..aku mengalah dan rela disiksa oleh Ayah. Semua demi Ayah. agar Ayah senang. Karena kutahu, Ayah membenciku untuk melampiaskan kekesalan ayah pada Ibu. Karena itulah aku diam! Aku diam walau harus mati! hanya untuk menyenangkan hati Ayah! Hanya demi Ayah. Dengan sikap ayah itu, Kakak jadi melampiaskan kekesalannya pada ayah kepadaku. Aku menjadi mangsa dari dua orang jahat yang egois. Yang tak tahu arti cinta dalam keluarga. Jika menyiksaku membuat kalian bahagia, siksalah aku! Aku relakan tubuhku penuh luka hanya untuk kebahagiaan keluargaku. BUKAN UNTUK KEPENTINGANKU!", Kataku panjang lebar. Andie dan Navy terbelalak mendengar ucapanku. Ayah juga. Ayah tampak geram, namun aku tak peduli.

Aku hanya ingin keluargaku kembali seperti dulu. Kembali menjadi keluarga harmonis dengan cinta di dalamnya. Bukan dengan kekerasan dan siksaan. Semua yang kuharapkan, tak pernah terwujud. Tapi tolong, untuk satu hal ini, kabulkanlah, Tuhan.

[will be continue~]








Minggu, 09 Desember 2012

Broken Family [2]

Salju turun lebat hari ini. Kulihat dari jendela, anak kecil bermain salju bersama ibunya. Tak terasa, air mataku menetes teringat ibu yang telah meninggalkan kami demi lelaki lain. 

Bosan sekali. Ingin rasanya aku bermain keluar dan bermain salju. Namun, salju di luar sana sama sekali tak berpengaruh bagiku. Aku di dalam rumah ini. Sendiri. Kakak pergi bersama ayah ke pesta perayaan perusahaannya. Aku tak diajak karena dianggap merepotkan dan hanya bikin malu. Sakit hati, rasanya.

Aku tak bisa kemana-mana. Rumah ini bagaikan penjara bagiku. Dan aku, seperti tahanan di rumahku sendiri. Kamarku dikunci dari luar. Sebagai ganti aku tak bisa keluar, ayah melemparkan beberapa buku pelajaran. Ayah pergi dengan kakak selama 3 hari. Dan aku harus menyelesaikan 21 latihan soal. Dan itu harus benar semua. 1 latihan soal ada 35 nomor. Aku dianggap boneka bagi ayah. Tapi kurasa ayah senang memperlakukanku demikian. Karena itu, aku pun ikut senang melakukannya.

[TING TONG]
Bel rumahku berbunyi. Seseorang datang! Apa yang harus kulakukan?

[Ada Serra Shie di sini? Aku Navy Colyn. Teman sekelasnya.]

"Apa!? Kau gila!? Navy Colyn di sini!!?", jeritku kegirangan.
Aku tak bisa keluar! Bagaimana ini.. Ini satu-satunya kesempatan bagiku untuk mendapatkan teman. Dengan segala cara, aku membukanya. Berhasil! Peniti memang 
benda tepat untuk membuka pintu yang terkunci!

"Navy Colyn! Selamat datang!", seruku sambil tersenyum lebar.

"Hai, Serra. Baru pertama kali ya, aku berbicara denganmu? Apa aku mengganggu?", tanya Navy padaku.

"Jika kau mengganggu, aku takkan membukakan pintu untukmu!", jawabku sambil menariknya ke ruang tamu.

Berbagai cemilan kusiapkan. Berbagai minuman kusiapkan. Meja tamu pun penuh dengan makanan yang kusajikan untuk Navy. Aku terlalu gembira!

"Terima kasih mau datang ke rumahku!", seruku padanya.

"Sama-sama. Rumahmu besar. Namun sepi ya.", jawabnya sambil melihat sekeliling rumahku. Aku mengabaikan pertanyaannya karena akan membuka aib keluargaku tenytang sikap ayah.

Kami berbincang-bincang sampai 3 jam lebih. Dan saat Navy hendak pulang, kakak pulang tanpa ayah. Kakak menatap mataku tajam karena kaget dengan kehadiran seseorang tak dikenal. 

"Siapa anak ini, hah!? Kenapa ada di sini!?", jeritnya sambil hampir mau menampar Navy.

"Apa-apaan kau, kak!? Dia hanya tamuku! Jangan main kekerasan, dong!",jawabku sambil menghalangi niatnya.

"Kau melanggar perintah ayah, Serra! Ayah bilang jangan ada tamu! Aku sudah mengingatkanmu kan!", jawabnya sambil menamparku. Sakit sekali.

"Jangan perlakukan aku seperti boneka, bodoh! Sementara kalian bersenang-senang..aku
 harus menghadapi 21 latihan soal!? Kau gila!", seruju dengan emosi yang meluap.

"Kauu!! Keluar dari rumah ini!"

"Dengan senang hati! Jangan panggil aku kemari lagi!"

"Sekalipun kau membayarku, aku takkan membukakan pintu ini untukmu lagi! Pergilah bersama temanmu ini!"

Yak, Serra diusir kakaknya karena membiarkan temannya masuk ke dalam rumahnya. Penasaran selanjutnya? Baca part 3 nya ajaa.

[To be continue]
Broken Family [1]

Serra Shie. Itu namaku. Aku hanya anak malang yang harus sekeluarga dengan keluarga berantakan ini. Aku memiliki ayah yang kejam, dan kakak yang suka melampiaskan kekesalannya padaku.

Andai saja..waktu itu ibu tidak menceraikan ayah..jika saat itu ibu tidak ada di Paris..keluarga ini tidak akan hancur. Salah ibu? Tidak juga. Aku tidak menyalahkan siapapun. Aku sebagai anak bungsu hanya bisa meratapi keluargaku yang hancur ini.

Ayah jadi kejam karena kesal diceraikan ibu. Karena kesal, ayah melampiaskannya ke kakak. Dipukul, ditampar, dihina, sudah seperti tradisi di rumah ini. 

Ayah seorang direktur dan jutawan. Rumah besar, fasilitas sangat lengkap. Bahagia? Tentu tidak. Semua uang ayah, tak berarti bagiku jika ayah tetap seperti ini. Aku hanya disuruh belajar, belajar, dan belajar. Ayah memperlakukanku seperti boneka mati. 

Kakak yang stress akan sikap ayah, melampiaskannya kepadaku. Dan aku? Aku hanya bisa diam dipukuli. Sikap ayah dan kakak mungkin sudah menjadi keseharianku. Dan aku hanya bisa berdoa, semoga Tuhan mengubah kembali keluarga ini ke jalan yang seharusnya.

Di sekolah pun aku tak punya teman. Prestasi aku dapatkan. Walau hanya mendapat nilai 80, ayah takpernah menghargainya. Ayah tak pernah puas akan keberhasilanku. Keberhasilanku hanya sampah di mata ayah.

"Jangan bangga dengan peringkat 1! Kau pikir kau ini sudah cerdas!? Jangan bodoh!", seru ayah sembari mendaratkan tongkatnya ke pipiku. Sakit? Seperti kau menusuk jarum ke matamu. Aku harus menahan sakitnya selama berjam-jam.  Jika kalian lihat kulitku, mungkin kalian akan kaget. Kulitku jadi hitam gelam akibat penuh dengan memar.

Sesekali ada pikiran terbesit di benakku. "bunuh..bunuh..bunuh ayah!!".  Namun, aku tak pernah sekalipun berniat demikian. Ayah tetaplah ayah. Seseorang yang telah merawatku hingga aku dapat meraih prestasi. Walau tak dihargai, aku tak berkecil hati.

Aku pernah memelihara satu kucing persia bernama Roro. Namun, Roro mati tahun lalu karena telah melindungiku dari pukulan ayah. Walau telah membunuh seekor kucing, ayah tak pernah merasa bersalah. Baginya, ia hanya seperti membunuh seekor semut.

Sikap ayah dan kakak yang begitu egois, tidak melumpuhkan rasa sayang dan cintaku pada keluarga ini. Ayah dan kakak tetaplah keluargaku. Orang yang selalu mendampingiku melewati hidup. Jika menyiksaku Membuat ayah dan kakak senang, aku tak keberatan. Meski harus mati, jika itu membuat mereka bahagia, aku akan melakukannya. Hanya demi keluargaku.

Keluargaku yang kucinta.

[To be continue]
Hi, guys! Welcome to my blog! Enjoy my post and please like it. Thanks.