Selasa, 18 Desember 2012

Broken Family [4]

Kupikir ini hari yang menyenangkan karena aku bisa bertemu dengan Andie dan bersenang-senang bersama Navy. Tapi semua kebahagiaan itu, lenyap begitu saja saat aku bertemu sesosok orang yang tak pernah kuimpikan untuk datang ke hadapanku. Ayah muncul seolah selalu tahu di manapun aku berada. 

"Serra! Pulang!", seru ayah padaku. Aku tak gentar sama sekali. Aku masih ingin berada di tengah-tengah Andie dan Navy. Tak pernah kuinginkan untuk kembali disiksa dan dianggap sampah oleh keluargaku sendiri.

"Jangan memerintahku! Urus saja perusahaan, dan rasa sakit ayah yang berlebihan! Tak usah pedulikan aku. Untuk apa aku pulang hanya untuk kau siksa? Untuk apa aku pulang hanya untuk dijadikan tempat pelampiasan rasa sakitmu pada ibu? Sikapmu sungguh rendah, ayah!", seruku sambil mencela ayah. Ini suasana yang tepat untuk mengungkapkan apa yang telah kupendam selama ini. Rasa sakit yang kupendam, kuharapkan bisa keluar saat ini juga.

"Kau...berani sekali!", bentak ayah sambil menamparku. Pipiku merah. Tamparan ayah sangat keras dan membuat pipiku memar. 

Lalu, dengan spontan, Andie dan Navy melindungiku. Navy memelukku agar aku tenang. Dan Andie berkata pada ayah,

"Aku tak tahu alasannya. Aku tak tahu mengapa anda menyiksa Serra seperti yang dikatakannya. Aku sama sekali tak mengerti apa alasanmu berniat membunuh anakmu sendiri! Sikapmu itu sungguh rendah. Aku tak tahu permasalahannya. Yang kutahu hanyalah, rasa sakit Serra pada kekerasan yang kau lakukan. Sikapmu itu terlihat seperti pecundang!", seru Andie. Ayah kaget mendengar ucapan Andie yang sungguh berani dan bijak. 

Kami lalu berlari pulang ke rumah Navy. Memarku diobati. Saat diobati, rasanya seperti menyiram luka bakar dengan air garam. Perih sekali. Namun rasa perihku, tak sesakit dengan rasa kecewaku pada sikap ayah. Selama diobati, aku menangis terus-menerus. Bukan karena perih. Karena aku..aku sangat mencintai keluargaku. Dan ayah sendirilah yang membunuh keluarganya sendiri. Itulah yang kutangisi. Hanya itu.

Kekerasan yang ayah lakukan memang sudah kelewat batas. Tapi, sebagai anak, aku tak bisa melaporkan ayah ke polisi. Aku masih menghargai ayah sebagai orang yang sangat berjasa. Jasa orang tua tak akan bisa dibalas oleh apapun selain dengan pengorbananku. Setelah insiden ini, aku seperti orang gila. Aku sering melamun saat istirahat dan menangis di kamar mandi setelah pulang sekolah.

Sepanjang perjalanan, aku hanya diam sambil menatap jalanan yang sepi. Navy dan Andie yang selalu pulang bersamaku pun, hanya bisa terdiam melihat sikapku. Mereka pikir, itu wajar untuk seorang anak yang syok oleh perlakuan ayahnya. Perlahan aku berpikir..mungkin aku akan keluar dari rumah Navy dan pergi ke tempat yang lebih baik. 

"Seharusnya kau laporkan ke polisi. Itu sudah tindak kriminal, Serra!", seru ibu saat melihat perubahan sikapku.

"Itu sama saja aku membunuh ayahku dengan cara membusukkannya di penjara.", jawabku dengan ekspresi datar.

"Bagus, kan? Kau tak mau ketemu ayahmu kan?", kata ibu sambil mengusap rambutku. Aku menepis tangannya dan berkata,

"Bagaimana bisa ibu berkata demikian!? Ayah tetaplah ayah yang telah merawatku! Jika ayah mati karena kulaporkan ke polisi, aku tak akan pernah tenang! Aku akan selalu merasa bahwa aku telah membunuh! Jangan sepelekan itu, bu!", bentakku sambil berlari ke kamarku. Kukunci pintu dan aku menangis sepuasnya. Sudah berbulan-bulan aku terus menangis tiap hari. Air mataku telah kering rasanya.

=oOo=

"Bu, aku ke pasar dulu, ya. Mau beli jagung, sayur, mie yamin, ayam, ketan, dan koran.", kataku pada ibu saat masih pagi jam 6.35 AM.

"Baiklah. Hati-hati, ya. Beliin ibu shiomay ya.", jawab ibu padaku. Aku hanya mengangguk dan berlalu. 

Saat di pasar, sungguh aku kaget. Aku bertemu seorang wanita. Wajahnya mirip sekali dengan ibu. Saat melihatnya, aku langsung pulang ke rumah menghindari wanita itu. Saat sampai, ibu bertanya kenapa aku tergesa-gesa seperti itu.

"Aku bertemu ibu.", jawabku.

"Lalu?", tanya ibu lagi.

"Ibu masih terlihat seperti dulu. Berbulan-bulan aku berpikir. Dan kutemukan titik cerahnya. Aku tak mau merepotkan keluarga ini terus. Aku akan pindah.", jawabku.

"Ke mana!?", tanya ibu kaget mendengar ucapanku yang terlalu tiba-tiba.

"Ke rumah ibu. Aku tahu alamatnya. Dia sekarang ada di Mongalnia Estate. Perumahan dekat sini.", jawabku dengan air mata tertahan. Aku tak mau air mataku menetes lagi. Aku tak mau.

"Kau yakin?"

"Keputusanku sudah bulat, bu. Aku harus pindah. Kumohon jangan beritahukan ke siapapun. Besok aku akan berangkat jam 4.30 AM. Saat kalian masih tertidur. Agar tak ada yang menangisi kepergianku."

Keputusanku tak akan bisa diganggu gugat lagi. Tekadku sudah bulat. Dan kupastikan, ibu akan menyambutku.

=oOo=

4.33 AM. 
Aku akan keluar dari rumah ini. Aku tinggalkan sepucuk surat yang berisi; 

Dear, Shiona Family.
Navy, terima kasih telah mengizinkanku tinggal di rumahmu. Kuharap kau tak keberatan jika aku pindah ke tempat lain. Sungguh, bukan karena aku merasa tak nyaman. Memang aku tak nyaman. Tak nyaman karena terus membebani keluargamu. Navy Shiona, kau begitu baik dan rendah hati padaku. Aku tak pernah menyalahkanmu sebagai alasan aku pergi dari rumahku. Pergi dari rumahku, memang sudah impianku sejak dulu. Jadi, jangan pernah kau merasa bersalah, ya.

Mrs. Rosse Shiona. Ibu, makasih telah menampungku di sini tanpa rasa pamrih. Aku bukan anak yang baik karena telah merepotkan keluargamu. Semua yang kulakukan di sini..adakah yang berguna bagimu? Sudahkah aku membalas jasamu? Belum. Namun, jasamu akan kubalas suatu saat nanti. Kuharap kau mau menungguku sampai aku bisa membuat ayah jera dan berubah seperti sedia kala.

Keluarga Shiona, kalian tak akan kulupakan. Sekalipun harus mati, aku akan membayar jasa kalian. Jangan khawatirkan aku. Aku akan baik saja jika kalian terus mendukungku dan menemaniku. Sekali lagi, terima kasih banyak. Aku sayang kalian.

Serra Shie.

Hanya surat itu yang bisa kuberikan pada keluarga Shiona ini.

=oOo=

Saat sampai, ibu kaget akan kehadiranku yang sangat tiba-tiba. Namun, ia senang dengan kehadiranku. Suaminya yang sekarang ini terlihat tampan dan baik. Aku bersenang-senang bersama mereka siang ini.

Saat malam tiba, mereka menyuruhku tidur dan menyelimutiku dengan selimut tebal yang hangat. Dengan cepat, aku pun tertidur pulas dengan mimpi yang indah. Namun, semua mimpiku terpecah saat kudengar orang membentak dan memecahkan barang. Tak kusangka. Mr. Daniel, suami ibu yang baru, ternyata makhluk dengan kepribadian yang sama seperti ayah.

Kupikir ibu bahagia di sini bersama suaminya. Tapi, yang kulihat sangat berbeda. Ibu tersiksa dengan sikap suaminya. 

Jadi, selama ini...ibu pun mengalami hal yang sama denganku? 
Ibu, tolong jelaskan. benarkah apa yang kulihat ini? 

[will be continue!]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar